IKABARI.COM – Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan buka-bukaan soal tuntutan dari pemerintah China agar APBN Indonesia bisa menjamin pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
Dalam lawatannya ke Beijing, Luhut bercerita, kalau pemerintah China masih menginginkan kelangsungan pembayaran pinjaman pokok maupun beban bunga dari pembangunan KCJB bisa di jamin oleh pemerintah Indonesia.
Namun Luhut mengaku tuntutan China tersebut bisa langsung di penuhi. Purnawirawan jenderal TNI AD itu kemudian menawarkan alternatif dengan penjaminan utang melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) atau PII.
“Masih ada masalah psikologis, kemarin mereka (China) mau dari APBN. Tetapi kita jelaskan kalau dari APBN itu prosedurnya jadi panjang makanya mereka juga sedang pikir-pikir. Kami dorong melalui PT PII karena ini struktur yang baru di buat pemerintah Indonesia sejak 2018,” beber Luhut di kutip pada Rabu (12/4/2023).
Soal besaran bunga utang, Luhut juga mengakui kalau dirinya gagal melakukan negosiasi. Sehingga pemerintah China masih berkukuh bunga yang harus di bayarkan sebesar 3,4 persen per tahun.
“Ya maunya kita kan 2 persen, tapi kan enggak semua kita capai. Karena kalau pinjam keluar juga bunganya itu sekarang bisa 6 persen. Jadi kalau kita dapat 3,4 persen misalnya sampai situ ya we’re doing okay, walaupun tidak oke-oke amat,” ucap Luhut.
Menteri yang juga pengusaha batu bara ini berujar, pemerintah Indonesia akan kembali melakukan negosiasi penetapan bunga pinjaman dari China agar tidak memberatkan keuangan negara.
“Tapi kita masih mau negosiasi lagi,” ucap Luhut.
Dulu janjinya tanpa APBN
Biaya pembangunan mega proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di ketahui mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun Rp 18 triliun. Jumlah tersebut sangat jauh dari perhitungan awal, bahkan sudah jauh melampaui investasi yang di tawarkan Jepang.
Sejumlah faktor penyebab pembengkakan biaya antara lain perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor. Juga pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan. Serta pencurian besi, hingga hambatan geologi dalam pembangunan terowongan.
Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah Indonesia menambal sebagian kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.
Kalangan yang kontra terhadap proyek tersebut menyebut bahwa perkembangan realisasi proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung tak sesuai dengan janji pemerintah dulu.
Sebagai upaya menyelamatkan proyek kerja sama Indonesia-China itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021. Ini merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Dalam Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung. Padahal sebelumnya, Jokowi beberapa kali tegas berjanji untuk tidak menggunakan uang rakyat sepeser pun untuk mega proyek tersebut.
Pilih China yang lebih murah
Menilik ke belakangan, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sebenarnya pertama kali di ajukan Jepang. Negeri Sakura itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Jokowi melalui JICA
Saking seriusnya menawarkan proyek tersebut, JICA bahkan telah menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai 6,2 miliar dollar AS, di mana 75 persennya di biayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Belakangan di tengah lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama. Hal itu rupanya mendapat sambutan baik dari Menteri BUMN 2014-2019, Rini Soemarno.
Rini bahkan menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2016.
China kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan di danai menggunakan modal bersama. Lalu sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga yang di klaim saat itu sebesar 2 persen per tahun. Kini berubah menjadi 3,4 persen per tahun.
Selain itu, China menjamin pembangunan ini tak menguras dana APBN Indonesia. Meski pada akhirnya, pihak China justru kini meminta pemerintah Indonesia ikut menanggung pembengkakan biaya yang muncul.
Penegasan semua biaya Kereta Cepat Jakarta Bandung tanpa uang APBN kemudian di sahkan pemerintah Jokowi lewat penerbitan Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Meski demikian, Jokowi kemudian meralatnya agar APBN bisa ikut mendanai kereta cepat dengan menandatangani Perpres Nomor 93 Tahun 2021.
(Kompas.com/Tubagus Haikal)
Tubagus Haikal adalah seorang kontributor di media IKABARI