Aktivis Lingkungan Minta Pemerintah Tuntaskan Masalah Sampah Hulu

Aktivis Lingkungan Minta Pemerintah Tuntaskan Masalah Sampah Hulu

Pentingnya Pendekatan dari Hulu dalam Pengelolaan Sampah

Juru Kampanye Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Jakarta, Muhammad Aminullah atau yang akrab disapa Anca, menegaskan bahwa pemerintah perlu memprioritaskan pengurangan sampah sejak dari sumbernya. Strategi ini diperlukan karena penanganan sampah di hilir cenderung lebih sulit, mahal, dan berpotensi menyebabkan dampak negatif baru.

“Solusi pemerintah kebanyakan dilakukan di hilir. Sementara itu, di hulu hanya ada peta jalan, dan itu pun bersifat sukarela bagi industri untuk mengurangi sampah plastik,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi Pawai Bebas Plastik, Minggu (27/7).

Read More

Regulasi terkait pengurangan sampah oleh produsen telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75 tahun 2019. Dalam aturan tersebut, produsen diminta mencapai target pengurangan sampah sebesar 30% pada 2029. Namun, Anca menyampaikan bahwa masih kurangnya transparansi data tentang perusahaan mana saja yang sudah memenuhi target serta strategi apa yang digunakan oleh industri menjadi salah satu tantangan utama.

Selain itu, regulasi yang ada belum sepenuhnya diimplementasikan secara efektif. “Tidak cukup kita menghilangkan sampah yang sudah ada, tapi juga mencegah sampah itu diproduksi. Itu yang perlu masuk dalam tata kelola sampah, misalnya dengan mengatur industri,” tambahnya.

Prinsip Zero Waste yang Perlu Diselaraskan

Pemerintah juga perlu menyelaraskan kembali prinsip zero waste yang ingin dicapai. Hal ini penting karena adanya pandangan berbeda yang berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan, antara menghilangkan sampah yang sudah ada atau mengurangi produksi sampah.

Solusi Hilir yang Tidak Efektif

Menurut Juru Kampanye WALHI Indonesia, Dwi Sawung, solusi seperti mengubah sampah menjadi energi listrik, pembakaran sampah dengan metode insinerator, dan refuse derived fuel (RDF) dianggap sebagai solusi palsu. Solusi-solusi ini membutuhkan sampah untuk beroperasi, sehingga akan terus membutuhkan sampah di masa depan.

Selain itu, proyek-proyek ini dinilai hanya mengubah polusi dalam bentuk lain. Pengoperasian insinerator menyebabkan polusi udara yang merugikan masyarakat. Keberadaan insinerator di Sukmajaya, Depok, masih mendapat penolakan dari warga. Salah satu warga, Andre, mengungkapkan bahwa pembangunan insinerator tidak melibatkan warga melalui diskusi maupun sosialisasi.

Setelah beroperasi, warga harus menanggung polusi udara yang dihasilkan. “Dari dampak yang kita rasakan, anak-anak ISPA, orang tua, lansia, banyak yang terganggu pernapasannya,” ujar Andre.

Lokasi insinerator juga dinilai tidak tepat. Selain dekat dengan pemukiman, insinerator juga dekat dengan area UMKM, olahraga, dan kegiatan masyarakat lainnya.

Langkah Pemerintah yang Bertentangan

Beberapa kebijakan mengharuskan daerah mengelola sampah secara mandiri. Namun, pemerintah tetap mendorong proyek pengolahan sampah berbasis termal yang membutuhkan sampah sebagai pasokan. “Karena ketika mengoperasikan RDF, PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah), dia membutuhkan sampah, itu artinya akan ada perebutan sampah antara RDF maupun bank sampah,” tambah Anca.

Memahami Karakteristik Sampah

Sawung menegaskan bahwa pemerintah perlu kembali mengenali karakteristik sampah di Indonesia yang sebagian besar merupakan sampah organik. Pengelolaan jenis sampah ini justru membutuhkan biaya yang sedikit dan mudah dilakukan masyarakat.

“Yang paling dasar kita harus tahu itu sampahnya apa, baru kita bisa menentukan teknologi apa yang akan dilakukan. Itu yang tidak dibaca oleh pengambil kebijakan di Indonesia,” ujarnya.

Ia menambahkan, ada tahap pengelolaan sampah sebelum siap diolah menjadi energi. Hal ini sering kali luput diperhatikan, sehingga implementasi teknologi menjadi tidak tepat.

Related posts