Akankah Tren Thrifting Dapat Menjadi Solusi dari Fast Fashion?

Pertumbuhan global telah menghasilkan kemajuan teknologi baru di bidang industri tekstil yang memungkinkan pakaian siap pakai diproduksi dalam jumlah besar dengan biaya rendah, sehingga dapat dijual dengan harga murah. Dengan harga yang lebih terjangkau, permintaan pasar meningkat secara signifikan. Karena itu secara alami, pola konsumsi akan berubah. Namun, harga yang lebih rendah seringkali menyebabkan penurunan kualitas produk yang membawa dampak pada keberlangsungan waktu dan kelangkaan produk tersebut. Istilah “fashion cepat” atau “fast fashion” digunakan untuk menggambarkan fenomena ini.

Hari ini, masyarakat kita telah terjebak dalam budaya konsumtif. Wanita yang tidak terpuaskan dengan tren mode, khususnya dalam mengikuti tren setiap musim, menjadi target utama dari industri pakaian. Kita hampir tidak menyadari bahwa konsumerisme ada karena hal tersebut sudah menjadi hal alami dalam masyarakat dan mempengaruhi cara kita berpikir dan berperilaku. Seperti apa yang mengecewakan, semakin tinggi budaya konsumtif itu tidak diimbangi dengan sikap preventif. Akibatnya, dampak sektor fashion terhadap lingkungan global perlahan mulai terasa, dari kerusakan lingkungan hingga masalah kesehatan. Masyarakat yang peduli dengan permasalahan ini mulai mencari cara untuk menciptakan mode yang bertanggung jawab secara lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, pengecion barang bekas (thrifting) telah menjadi tren di kalangan remaja muda (Gen Z). Thrifting adalah kegiatan mencari atau membeli barang-barang bekas untuk digunakan lagi. Kesenangan yang dirasakan ketika menemukan pakaian hangat yang masih layak pakai dengan harga yang murah adalah salah satu motivasi bagi remaja muda untuk melakukan kegiatan thrifting. Internet berperan penting dalam membuat istilah ini populer. Munculnya akun media sosial populer yang menampilkan temuan belanja barang bekas menginspirasi masyarakat untuk melakukan hal serupa. Tapi, munculnya tren thrifting mungkin juga menyebabkan praktik pengeluaran akhirnya berubah ke arah kuantitas daripada kualitas. Mengapa demikian?

Menurut Nandhita Nair dalam artikelnya “Rise of Thrifting: Solution to Fast Fashion or Stealing from the Poor?”, membeli barang bekas yang murah dapat meningkatkan kebiasaan tidak merawat barang-barang yang dibeli. Harga yang murah memungkinkan kita untuk membeli banyak barang tanpa mempertimbangkan apakah kita memerlukan mereka untuk waktu lama atau tidak. Menurutnya, inspirasi untuk “thrifting dapat menyelamatkan planet ini” bisa jadi upaya untuk membenarkan konsumerisme dengan bujukraya sosial. Oleh demikian, gerakan thrifting yang awalnya bertujuan mengelola fashion cepat justru bisa mengarahkan kita pada keserakahan.

Lebih dari itu, penulis The Challenge of Affluence: Self-Control and Well-Being in the United States and Britain Since 1950, Avner Offer, mengajukan saran bahwa kita membutuhkan keterampilan mengendalikan diri, berhati-hati, serta perjuangan untuk menghadapi kebutuhan instan yang murah. Banyak gerakan yang lahir sebagai perlawanan terhadap konsumsi berlebih tanpa pikir panjang, seperti underconsumption. Ardemia Natalia Trevino Amaro, seorang desainer serta penganut gaya slow fashion, menjelaskan bahwa underconsumption adalah cara untuk menghargai barang-barang yang sudah dimiliki, tidak membeli setiap tren yang tampak di media sosial, dan menjalani pola hidup yang berkelanjutan.

Dengan cara demikian melakukan belanja barang-barang yang telah digunakan atau yang lebih dikenal dengan istilah thrifting bisa menjadi salah satu pilihan dalam melawan dampak negatif dari gaya fashion cepat. Akan tetapi dalam penerapannya, penting bagi kita untuk selalu terus menjaga pola pikir yang tidak tercela selama berbelanja. Hal ini sanggup berfungsi efektif agar kegiatan belanja thrifting tidak hanya menjadi tren yang menipu hati atau hanya untuk memuaskan hasrat konsumtif, melainkan tetap menjaga esensi utamanya sebagai bentuk dukungan pada keberlanjutan lingkungan, pengurangan terhadap barang yang sudah tidak terpakai, serta pembentukan budaya konsumsi yang bertanggung jawab dan peduli pada masa depan dunia kita.

Related posts