Cerita Warga Bertahan 5 Jam di Atap Saat Banjir Besar Bekasi…


BEKASI, IKABARI

– Air datang tanpa ampun. Dalam hitungan jam, kawasan Pondok Gede Permai, Jatiasih, Bekasi, tenggelam dalam kepungan banjir yang tak terduga pada Selasa (4/3/2025).

Sagino (51), petugas kebersihan SMAN 21 Bekasi, hanya bisa menatap dengan cemas saat air mulai naik, menelan rumah-rumah, sekolah, dan jalanan yang biasa dilalui.

Tak ada waktu berpikir panjang. Sugiono bersama istri, Sri Yumairini dan anaknya, Ema Nur Aisyah bergegas mencari tempat lebih tinggi.

Kala itu, jam menunjukkan pukul 04.00 WIB. Kali Bekasi yang mengalir tak jauh dari tempat tinggalnya telah berstatus siaga satu.

Sugiono bersama istri dan anaknya bergegas menuju SMAN 21 Bekasi, dengan harapan menemukan tempat lebih aman.

Di sana, mereka bertemu dengan dua petugas keamanan sekolah, Dani dan Sayadi, serta Kepala SMAN 21 Bekasi, Mohammad Ilyas.

Namun, kenyataan berkata lain. Air ketika itu justru datang lebih cepat dari dugaan, merayap naik tanpa ampun.

“Habis sahur itu air mulai naik terus. Saya buka pintu ruangan Wakil Kepala Sekolah, ada sebagian berkas-berkas saya naikkan ke meja,” kata Sugiono, Selasa (11/3/2025), dikutip dari Tribun Bekasi.

Tapi banjir tak memberi mereka waktu untuk bersiap lebih lama. Sagino bergegas meminta Dani mematikan seluruh panel listrik di sekolah agar tak ada bahaya lain selain air yang tak terkendali.

Ruangan kelas 12 dijadikan tempat berkumpul, satu-satunya tempat yang dianggap lebih tinggi. Tapi, air terus masuk, merendam seisi ruangan demi ruangan.

Sagino tak tinggal diam. Dia menyusun meja-meja sebagai pijakan agar mereka tak tenggelam dalam ketinggian air yang terus meninggi.

“Saya tidak menyangka kalau airnya setinggi ini, saya pikir satu meter cukup, tahunya terus naik,” ucap Sugiono mengenang.

Ketika meja yang disusun mulai bergoyang diterpa arus deras, Sagino tahu, mereka butuh rencana lain.

Tak ada pilihan lain. Dengan sisa tenaga, Sugiono menendang plafon hingga jebol, memberi jalan bagi mereka untuk naik ke bagian atas ruangan yang terbuat dari baja ringan.

“Waktu itu mejanya saya susun ada dua meja, tapi kan mejanya goyang terus dan akhirnya saya jebol plafon karena air semakin tinggi. Kami tidak bisa bertahan begitu saja,” katanya.

Namun, bahkan di ketinggian, rasa aman masih belum mereka temukan. Air terus naik, semakin mendekat ke tempat mereka bertahan.

Sagino kembali berinisiatif. Dengan cepat, ia meminta Dani dan Sayadi untuk menjebol genting, memberi jalan bagi mereka agar bisa memanjat lebih tinggi lagi.

“Akhirnya kami berenam itu naik ke atas genting semua. Pas saya sampai di atas itu, air di bawah jalanan sudah dua meter lebih dan seluruh gedung sekolah tertutup air,” katanya dengan suara bergetar.

Dari atas genting, mereka hanya bisa menatap ke sekeliling dengan rasa ngeri.

Kota yang biasa mereka kenali ketika itu hanyalah hamparan air berwarna cokelat pekat, menelan rumah-rumah dan gedung-gedung tanpa ampun.

Dinginnya udara malam semakin menusuk, membuat ketakutan dan kepanikan terasa semakin nyata.

Sagino menyadari, mereka benar-benar sendirian dalam kegelapan malam, tanpa tahu kapan bantuan akan datang.

“Banjir kali ini lebih parah dari tahun 2020. Dulu air cuma setinggi spion motor, sekitar satu meter. Sekarang? Sekarang dua meter lebih, bahkan di daerah rendah bisa sampai lima meter,” kata Sugiono.

Bertahan lima jam

Waktu berjalan lambat. Lima jam berlalu di atas genting, hanya berharap dan berdoa agar pertolongan segera datang.

Akhirnya, perahu penyelamat tiba. Namun, evakuasi bukan hal yang mudah.

Jumlah korban yang harus dievakuasi begitu banyak, sementara perahu karet sangat terbatas. Prioritas diberikan kepada anak-anak, lansia, dan mereka yang sakit.

“Dari jam 06.00 pagi saya telepon anak saya yang ada di luar lokasi banjir minta bantuan evakuasi, baru jam 11.00 siang saya bisa dievakuasi,” tutur Sagino.

Bahkan setelah ia dan keluarganya diselamatkan, Ilyas, Dani, dan Sayadi masih harus menunggu. Mereka baru bisa dievakuasi pada pukul 15.00 sore, setelah berjam-jam tambahan dalam ketidakpastian.

Kini, meskipun air telah surut dan kehidupan berangsur normal, ingatan tentang malam itu masih membekas kuat dalam benak Sagino.

“Masih aja suka kepikiran peristiwa itu, membekas aja,” ucapnya lirih.

Lima jam di atap bukan sekadar kisah bertahan hidup, tetapi juga pengingat akan keganasan alam yang bisa datang kapan saja.

Banjir kali ini bukan hanya merendam rumah-rumah, tetapi juga meninggalkan luka di hati mereka yang mengalaminya secara langsung.

Related posts