Perjalanan Petani di Kalimantan Tengah Mengadopsi Pertanian Regeneratif
Seorang petani di Desa Bangkal, Kalimantan Tengah, Majianto, berbagi pengalamannya beralih dari budi daya kelapa sawit konvensional ke praktik pertanian regeneratif. Selain berhasil mengembalikan kesuburan tanah di kebunnya, metode ini juga membantu meningkatkan hasil panen yang sebelumnya mulai menurun.
Majianto menjelaskan bahwa dengan menerapkan praktik regeneratif, hasil panen bisa meningkat hingga 60–150 persen. Ia juga menyebutkan bahwa kebunnya tidak lagi mengalami musim “ngetrek” saat kemarau panjang. Pengakuan ini disampaikan saat ia menjadi salah satu narasumber dalam diskusi tentang penerapan pertanian regeneratif di perkebunan kelapa sawit yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Penelitian Kaleka.
Majianto telah bertani kelapa sawit secara konvensional selama sekitar 15 tahun. Pada 2023, ia diperkenalkan dengan program Gawi Bapakat, sebuah inisiatif dari Kaleka yang bertujuan mendorong desa-desa menuju pembangunan berkelanjutan. Sejak tahun 2008 hingga 2023, ia hanya mengenal penggunaan pupuk kimia dan herbisida untuk membersihkan gulma di kebun seluas 10 hektare.
Ketertarikan Majianto terhadap program Gawi Bapakat muncul karena dianggap mudah diterapkan dan juga karena biaya pupuk kimia yang semakin mahal. Namun, pengurangan penggunaan pupuk kimia justru berdampak pada penurunan hasil panen tandan buah segar sawit. Pada Juli 2023, ia mulai mendapatkan pendampingan dari program tersebut.
Sejak 2024, Majianto sepenuhnya menerapkan pertanian regeneratif. Ia menggunakan pupuk organik dari bahan lokal seperti enceng gondok yang melimpah di Bangkal. Selain itu, ia juga menanam tumbuhan merambat dari genus mucuna sebagai penutup tanah serta mengembalikan pelepah sisa pangkasan ke kebun untuk menjaga kesuburan tanah.
Setelah 3-4 bulan, ia mengaku hasil panenan meningkat signifikan. “Dengan praktik regeneratif, hasil panen sangat meningkat hingga 60–150 persen dan tidak mengalami musim ‘ngetrek’ saat kemarau,” ujarnya.
Selain itu, kondisi tanah kebunnya juga berubah menjadi lebih lembap. Ia membandingkan dengan penggunaan pupuk kimia dan herbisida secara intensif yang justru merusak kualitas tanah. “Tanaman-tanaman penutup permukaan tanah sudah tidak ada sama sekali, begitu juga unsur hara dan cacing di dalam tanah,” katanya.
Dalam praktiknya, Majianto juga mengungkap bahwa ia tidak hanya mendapat pelatihan pertanian regeneratif, tetapi juga bimbingan untuk memperoleh sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kedua sertifikasi ini merupakan standar mutu pengelolaan bisnis kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
“Petani diajarkan untuk menerapkan pertanian yang sesuai dengan standar ISPO dan RSPO,” ujarnya.
Mila Oktavia, Koordinator Sistem Pangan Kaleka, menjelaskan bahwa praktik sawit regeneratif mampu mengubah kebiasaan “tanam tinggal” menjadi budidaya sawit berkelanjutan. Petani diajak memanfaatkan gulma seperti enceng gondok, limbah panen, dan limbah rumah tangga sebagai bahan baku pupuk organik.
Menurut Mila, praktik ini terbukti meningkatkan pendapatan petani hingga 27 persen. Hasil pengukuran juga menunjukkan perbaikan kualitas kesuburan tanah, seperti meningkatnya populasi cacing, kandungan karbon organik, dan pH tanah.






