Mengatur Platform OTT dengan Pendekatan yang Lebih Tegas
Pemerintah Indonesia disarankan untuk mengadopsi pendekatan serupa dengan Korea Selatan dan China dalam mengatur platform over the top (OTT) seperti WhatsApp, Netflix, TikTok, dan lainnya. Kedua negara tersebut menunjukkan ketegasan dalam menghadapi layanan berbasis aplikasi dari luar negeri, sehingga akhirnya memaksa perusahaan tersebut membayar denda kepada pemain lokal.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel), Jerry Mangasas Swandy, menjelaskan bahwa Korea Selatan memiliki aturan yang sangat tegas terkait pengaturan OTT. Aturan ini melibatkan kewajiban OTT untuk menjaga kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat. Selain itu, OTT juga diwajibkan memberikan kontribusi kepada penyelenggara jaringan agar kapasitas jaringan operator dapat menampung seluruh trafik OTT. Hal ini telah diatur dalam Amandemen UU bisnis telekomunikasi Korea Selatan sejak 2020.
Jerry menyebutkan contoh kasus operator telekomunikasi di Korea Selatan yang melawan Netflix. Keberpihakan pemerintah terhadap industri nasional sangat besar hingga akhirnya operator Korea Selatan menang dalam proses peradilan dan Netflix membayar kontribusi.
Menurut Jerry, penyelenggara jaringan telah melakukan investasi besar dan berkelanjutan dalam membangun infrastruktur digital nasional. Namun, lalu lintas data yang masif dari layanan OTT belum diimbangi dengan kontribusi yang sepadan terhadap beban infrastruktur yang digunakan. Oleh karena itu, Apjatel mendorong agar pemerintah menegakkan regulasi yang berlaku perihal kontrol terhadap trafik OTT.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), khususnya Pasal 15 ayat (6), disebutkan bahwa penyelenggara jaringan dapat melakukan pengelolaan trafik demi kualitas layanan dan kepentingan nasional. Ketentuan ini juga diperkuat dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021. Dengan kebijakan tersebut diharapkan beban trafik dapat dipikul bersama antara OTT dengan pengusaha internet dalam negeri.
Jerry menegaskan bahwa jangan sampai penyelenggara jaringan terus menanggung beban dan akhirnya tidak bisa memberikan layanan seperti sekarang ini, karena pelaku OTT terus tumbuh tanpa kewajiban yang proporsional. Hal ini berdampak pada pembangunan jaringan yang tidak bisa keep up.
Trafik OTT Dominasi Kapasitas Jaringan
Apjatel menyoroti bahwa saat ini trafik OTT mendominasi kapasitas jaringan, namun tanpa mekanisme berbagi tanggung jawab yang adil (fair share), hal ini berisiko melemahkan ketahanan dan ketersediaan jaringan pada masa depan. Jika pemerintah hanya membiarkan OTT mengeksploitasi trafik di Indonesia tanpa ada kontribusi maka operator telekomunikasi tidak dapat mengimbangi penyediaan kapasitas trafik di Indonesia yang berdampak pada menurunnya kualitas layanan OTT itu sendiri.
Menurut Jerry, saat ini operator berdarah darah membangun jaringan untuk menyediakan kapasitas besar untuk melayani trafik OTT keluar negeri. Namun, karena kebutuhan masyarakat tinggi dan kapasitas pemain lokal juga terbatas maka perlu ongkos lebih besar. Dengan kontribusi OTT ke operator, maka tidak ada yang dibebani ke masyarakat, justru dengan begini [kerja sama OTT dan pemain lokal] masyarakat tetap bisa menikmati layanan tanpa ada perubahan.
Meniru Pendekatan China
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam, berpendapat bahwa nilai tawar Indonesia terhadap OTT asing masih rendah. Indonesia, lanjutnya, dapat meniru China yang mampu melakukan aksi nyata untuk filterisasi dan memaksa OTT asing tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintahnya.
Selain itu, China juga mempersiapkan substitusi layanan OTT asing. Sementara itu Indonesia, menurutnya, belum menaruh perhatian besar dalam penciptaan aplikasi pengganti WhatsApp, Telegram, dan lain sebagainya. Zulfadly menilai bahwa Indonesia mampu, hanya saja perhatian pemerintah untuk menciptakan iklim riset dan inovasi untuk OTT sangat minim, bahkan tidak ada.
Untuk menciptakan kesetaraan antara OTT asing dan pelaku usaha telekomunikasi nasional, Zulfadly meminta agar pemerintah dapat menata ulang regulasi telekomunikasi di Indonesia. Ia menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk membenahi infrastruktur internet di Indonesia. Jika pemerintah tidak membenahinya, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat Indonesia secara luas.
Ia menegaskan bahwa jangan ada lagi jargon “seleksi alam”, yang mampu akan berkembang dan yang tidak mampu akan tutup dengan sendirinya. Kondisi yang kondusif ini harus diciptakan oleh pemerintah. Karena telekomunikasi merupakan sektor strategis yang harus dijaga pemerintah guna kepentingan nasional.






