JAKARTA, – Palu telah diketuk Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (16/3/2023).
Ketukan palu menandakan hakim telah memutuskan bahwa dua polisi yang menjadi terdakwa dinyatakan tidak bersalah atas kematian 135 manusia di stadion Kanjuruhan.
Dua terdakwa yang bebas itu adalah Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
“Tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama, kedua dan ketiga,” begitu sepenggal putusan yang diucapkan Hakim kepada kedua terdakwa itu.
Sedangkan terdakwa polisi yang divonis satu tahun enam bulan penjara ialah mantan Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan.
Dalam perkara yang sama, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris divonis satu tahun enam bulan penjara, oleh Majelis Hakim. Sedangkan terdakwa petugas keamanan Suko Sutrisno dihukum bui selama satu tahun.
Putusan ini mengundang kecewa, melukai rasa keadilan, menyebabkan tangis air mata untuk kedua kalinya bagi para korban dan keluarga korban yang telah tiada.
“Ini tadi sudah beberapa yang telepon ke kami menanyakan perihal ini meminta kejelasannya. Mereka rata-rata sambil menangis kok sampai segini putusannya,” kata Koordinator Tim Gabungan Aremania Dyan Berdinari kepada di hari putusan itu.
Setelah palu diketuk, gelombang kekecewaan tak hanya dirasakan oleh para korban.
Kekecewaan itu hadir dari lembaga resmi negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan lembaga-lembaga pembela HAM lainnya.
Beberapa jam setelah putusan diketuk, Komnas HAM menyatakan menyesalkan vonis yang dinilai melukai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Keputusan itu dinilai tak berpihak pada korban, tak memiliki kepekaan terhadap apa yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan.
“Komnas HAM sangat menyesalkan vonis ringan dan vonis bebas terhadap beberapa pihak yang diduga sebagai pelaku dalam tragedi Kanjuruhan yang sudah menimbulkan 135 orang meninggal dunia,” kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah.
Dia menilai Hakim tak memiliki sensitivitas, rasa keadilan bagi publik.
Komnas HAM juga membeberkan tiga fakta yang diperoleh dalam proses penyelidikan tragedi tersebut.
Fakta pertama, situasi lapangan sudah kondusif, namun aparat memilih menembakkan gas air mata.
Fakta kedua, aparat kepolisian menembakkan gas air mata secara beruntun.
Fakta ketiga, gas air mata sengaja diarahkan ke tribune penonton sehingga menyebabkan kepanikan yang menewaskan 135 orang.
Dasar fakta itu, para terdakwa dinilai meiliki kapasitas untuk mencegah penembakan gas air mata.
“Namun hal tersebut tidak dilakukan,” kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing.
Gelombang kekecewaan itu juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil yang memantau persidangan.
Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Rezaldy yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit turun tangan.
Kapolri dinilai bisa memastikan proses hukum berjalan dengan baik, transparan dan independen.
“Juga mendesak Dirkrimum Polda Jatim melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali untuk menemukan tersangka baru khususnya bagi pelaku penembakan gas air mata,” kata Andi.
Di sisi lain, Komnas HAM juga diminta untuk menetapkan tragedi Kanjuruhan tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.
Lembaga negara lainnya khususnya di bidang hukum seperti Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung juga diminta bergerak atas putusan ini.
Andi mendesak agar kedua lembaga yang memiliki wewenang mengawasi peradilan bisa memeriksa Majelis Hakim yang memberikan putusan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihak berwenang dinilai gagal memberikan keadilan kepada para korban.
“Meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat,” ucap Usman.
“Kami mendesak pemerintah untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan,” lanjut dia.
Dia berharap proses hukum yang akuntabel tidak hanya diterapkan pada petugas lapangan, tetapi juga hingga ke tataran komando.
Ini diperlukan untuk memberikan keadilan pada korban dan memutus rantai impunitas para pejabat tinggi yang melanggar hukum.
“Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen,” kata Usman.
(kompas.com/jais)
Jaenal Indra Saputra adalah seorang penulis di media online. Dia bekerja di bagian IT di perusahaan tempat dia bekerja.