Fenomena Luka Inner Child: Toxic Parenting vs Oversharing – Batasi di Dirimu Sendiri!

Fenomena Luka Inner Child: Toxic Parenting vs Oversharing – Batasi di Dirimu Sendiri!

Bagaimana jika trauma dari masa kecil yang disebut sebagai “inner child” atau memori menyakitkan terus diteruskan oleh orangtua kepada anak mereka dan bahkan melewati beberapa generasi, dengan alasan untuk membentuk mental yang kuat?

Sebagian orang mungkin telah mengalaminya: saat anak melakukan kesalahan, bukannya diberi dukungan, malah dihadapkan dengan pendekatan pengasuhan yang tegas dan otoriter, klaimnya adalah metode yang lebih efektif pada masa lalu.

Sebaliknya, bagaimana jika situasinya adalah di mana seorang anak cenderung lebih suka menceritakan beragam pengalaman mereka kepada pihak luar atau melalui platform-media sosial dibandingkan dengan kedua orangtunya mereka langsung?

Apabila orang tua tak lagi jadi sumber perlindungan bagi berbagi emosi, pemikiran, ataupun kisah-kisah harian, maka sang anak akan mencari dukungan dari pihak lain.

Pengertian Inner Child

Berdasarkan psikologi, inner child mengacu pada bagian dari jiwa yang mencerminkan si anak dalam diri seorang adult atau merupakan produk dari pengalaman masa kanak-kanak yang membentuk karakter individu tersebut.

Konsep itu pertama kali diuraikan oleh psikolog Carl Jung (1875–1961) dan menggambarkan aspek dewasa dalam diri seseorang yang memiliki pikiran, perasaan, sikap, serta perilaku yang cenderung anak-anak.

Itu pun memengaruhi bagaimana seseorang mengamati dirinya sendiri, orang lain, serta lingkungan sekelilingnya saat tumbuh menjadi dewasa.

Meskipun dibiarkannya, bisa jadi mengarah ke permasalahan besar misalnya penyakit jiwa, tindakan tak terpuji, atau interaksi sosial yang buruk.

Alasan serta Ragam-ragam Inner Child

Berdasarkan asal-usulnya, inner child bisa timbul akibat beragam bentuk trauma yang dirasakan pada masa kanak-kanak, termasuk diantaranya adalah:

1. Abandonment Wound

Misalnya, merasakan diabaikan oleh orang yang disayangi, sepeti ketika terjadi kematian, perceraihan, atau sering kali merasa kesepian. Hal ini dapat menyebabkan rasa takut akan keabadian penolakan, sifat posesif, serta ketergantungan kepada pihak lain.

2. Neglect Wound

Yaitu, muncul karena diabaikan secara fisik atau emosional, seperti kurang perhatian,  pujian, atau perlindungan. Sehingga membuatnya haus validasi, pasif, dan enggan berbagi perasaan.

3. Guilt Wound

Misalnya, timbul dari rasa bersalah yang dalam karena ditegur keras, menghadapi kekerasan, atau dicemooh saat masih anak-anak, sehingga menyulitkan mereka untuk membebaskan diri dari beban bersalah tersebut.

4. Trust Wound

Misalnya, terjadi akibat sebuah pengecualian atau kesepakatan yang dilanggar, biasanya oleh pihak ayah atau ibu. Hal ini menyebabkannya menghadapi tantangan dalam percaya pada orang lain, cenderung waspada berlebihan, serta meremehkan komitmen.

Keterkaitan Antara Inner Child dan Attachment

Berdasarkan teori keterikatan milik John Bowlby, masalah luka pada anak dalam diri seseorang biasanya bermula dari keterikatan atau hubungan yang kurang stabil. John mengelompokkannya menjadi empat tipe, yakni:

1. Secure Attachment,

Misalnya, anak akan berkembang dengan rasa percaya diri ketika mereka mendapat respon yang selalu konsisten dari orang tua atau penjaga mereka. Hal ini pada gilirannya membuat mereka lebih mungkin untuk membentuk hubungan yang sehat serta mengurangi trauma internal akibat masa kecil.

2. Ambivalent attachment

Misalnya, timbul saat pengasuh kurang konsisten, menyebabkan anak menjadi cemas dan khawatir akan kehilangan perhatian mereka, yang pada akhirnya membuat anak tersebut merasa tidak aman dalam hubungan di kemudian hari.

3. Avoidant attachment

Misalnya, penolakan emosional dari orang tua yang menyebabkan anak mengubur perasaannya dan merasa sulit untuk terbuka, sehingga rasa takut pada keintiman sering timbul sebagai dampaknya.

4. Disorganized attachment

Misalnya, timbul akibat pola pendidikan yang mengancam atau tidak konsisten, di mana figura pengasuh jadi penyebab ketakutan. Akhirnya, hal ini membuat anak berkembang dengan luka batin kompleks hingga mencapai usia dewasa.

Fenomena Berlebihan dalam Mengungkapkan Luka Inner Child

Pada masa kini, kita kerap kali menemui banyak materi di platform-media sosial yang membahas soal trauma dari masa kecil, dimana hal tersebut membuat anak-anak menjadi rentan dan merasa lebih dikenali dengan baik oleh pihak lain.

Seringkali, situasi tersebut pun membuka arena perbincangan panjang tentang metode pengasuhan anak. Kritik yang dahulunya dianggap terlarang sekarang jadi trend baru.

Sesungguhnya aspek ini sangat mengundang dan kaya akan kreasi saat opini tak mendapat kesempatan yang cukup untuk diekspresikan atau justru sering diabaikan. Di sinilah peran media sosial sebagai jawabannya.

Seringkali, kritikan disampaikan dengan menggunakan nada sarkastis atau humor. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, konfirmasi melalui media sosial telah menciptakan pemahaman kolektif hingga munculnya sebuah komunitas, sehingga pendapat menjadi lebih bebas dan tak terbatas.

Misalnya saja, banyak bahan yang menunjukkan gaya hidup orang dewasa yang mencerminkan masa kecil tidak terlalu bahagia dan berubah jadi kenangan spesial.

Berikut adalah contoh kalimat implisit yang berisi lelucon serupa: “Setelah bekerja, barulah dia mengetahui bahwa satu bungkus sate bisa dinikmati dalam sekali makan tanpa perlu disertai nasi.”

Tetapi kadang-kadang jenis konten ini malah menimbulkan diskusi panjang yang berujung pada seberapa tidak berhasilnya para orangtua dalam menyediakan kegembiraan bagi anak-anak mereka.

Atau kadang-kadang sindiran seperti ini: “Jika dahulu kita diizinkan untuk menyuarakan pemikiran dan emosi, mungkin beban ini tak akan setara kini saat bertumbuh menjadi individu yang menahan segalanya dengan kesendirian.”

Atau mungkin lebih parahnya lagi dengan terang-terangannya misuh-misuh sarkastik melalui threads, base atau lainnya, seperti,

“Tidak ada yang asin nih, aku sangat lelah dengan pola pengasuhan toxik di keluargaku…” Yang dilanjutkan dengan terlalu banyak berbagi informasi.

Akan tetapi, di sisi lain, ada juga orangtua yang kadang-kadang menceritakan kekurangan anak mereka dengan rincian kepada pihak ketiga, seperti sesama kolega kerja, tetangga, atau bahkan melalui media sosial.

Lebih buruk lagi, apabila unggahan itu dilakukan menggunakan akun yang tidak bersifat anonim, masyarakat bisa dengan cepat mengidentifikasi latar belakang keluarga serta persoalan pribadinya.

Berpura-pura sehat di tengah-tengah kesulitan sesungguhnya bukanlah jalan keluar yang pasti, tetapi hal tersebut berkaitan dengan martabat setiap individu, entah itu para orangtua atau si anak.

Bisa jadi beberapa orang pernah mengalaminya sebagai penyebab atau pihak yang terkena dampak dalam skenario tersebut. Akan tetapi, pada dasarnya hal itu tidak sepenuhnya mewakili akar masalahnya.

Lebih penting lagi adalah tentang cara untuk saling mengepulihkan dan mengoreksi hubungan melalui pemahaman bersama serta komunikasi yang baik antara satu sama lain.

Pengaruh Akses Ilmu Parenting

Menurut studi Arif Sugitanata dan Sarah Aqila (2024) dalam Journal of Gender and Children Studies, kesalahan dalam membimbing anak biasanya disebabkan oleh ketidaktahuan orangtua tentang informasi pengasuhan kontemporer.

Pandangan bahwa hanya dengan pendekatan orangtua dahulu sudah cukup masih sangat berpengaruh. Namun, sayangnya metode mengasuh anak yang efektif pada jaman dulu mungkin tidak lagi cocok dengan kebutuhan saat ini.

Di samping itu, umur para orangtua ketika melahirkan pun merupakan elemen signifikan. Orangtua yang berusia lanjut cenderung menemui jurang generasi, hal ini membentuk hambatan dalam menyelami alam semesta si buah hati mereka.

Ali bin Abi Thalib RA sempat mengingatkan, “Ajarkanlah anak-anakmu sejalan dengan masa kini.” Perkataan ini mencerminkan kepentingan penyesuaian dalam metode pendidikan, yang kerap dilupakan orang tua.

Berdasarkan beberapa informasi, Generasi Z yang sedang memimpin masa kini lebih paham tentang perawatan anak, mereka umumnya akan tumbuh menjadi orangtua yang lentur dan mengasyikkan.

Informasi yang melimpah dan hadirnya parentsfluencers, rupanya membantu mereka memahami konsep parenting yang ideal itu seperti apa dan bagaimana.

Saat ini, kemudahan mengakses berbagai macam informasi tentang pendidikan anak di media sosial terus meningkat. Situs-situs seperti Instagram, TikTok, serta Facebook telah berkembang sebagai sarana pembelajaran dan juga wadah bagi orangtua untuk saling bertukar cerita dalam menjalani peran mereka.

Sayangnya, tidak seluruh orangtua menyadari hal ini atau menyesuaikan diri; malah sebagian mungkin tetap mempertahankan metode pengasuhan tradisional meski belum tentu tepat atau memiliki dampak positif.

Akan tetapi, memiliki ilmu saja tak cukup; kadang kritikan tentang pendidikan anak menjadi tajam jika seseorang belum benar-benar merasakan sendiri tantangan dan usaha dalam melaksanakan metode pengasuhan yang tepat.

Apa yang cocok dan tidak cocok menurut teori parenting modern, hanya akses ilmunya saja yang saat ini dipermudah, namun dalam menerapkannya tentu tidak semudah ketika mengkritik parenting orang lain.

Memutus Rantai Toxic Parenting

Baru-baru ini pula banyak diperbincangkan mengenai tren penangguhan pernikahan (waithood) atau malah berpola hidup tanpa anak (child free), di mana salah satu penyebabnya adalah dampak dari pengasuhan yang buruk (toxic parenting).

Luka dalam diri seorang anak yang parah dapat menyebabkan seseorang memiliki persepsi negatif terhadap perkawinan dan kehamilan.

Malah, pernikahan jadi hal yang mengkhawatirkan karena kecemasan bahwa pengalaman buruknya mungkin berlanjut kepada generasi mendatang.

Terkadang, demi menjaga kesejahteraan mental, sejumlah individu secara tegas mengemukakan keprihatinan mereka di platform media sosial terkait masalah trauma dari masa kanak-kanak mereka sendiri.

Namun, apakah membalas luka inner child dengan menyalahkan orang tua atau mengumbar semuanya di media sosial adalah solusi? Tentu saja tidak.

Konsep mengumbar aib di sosial media, hanya akan memperburuk hubungan anak dengan orang tua, relasi antar generasi, bahkan memperpanjang lingkaran luka.

Pada dasarnya, inner child dimiliki oleh setiap generasi, Tetapi bentuk pengungkapannya beragam, mungkin orang tua di zaman dulu tidak keras membahasnya dengan oversharing di media sosial

Akan tetapi, bekas lukanya baru akan nampak jika orang tua menggunakan metode pengasuhan yang serupa dalam mendidik anaknya.

Tanpa doubt, generasi saat ini memiliki kesempatan untuk mengakhirkannya. Sebaliknya dari menyalahkan, paham dan berusaha membenahi metode pengasuhan di kemudian hari pasti akan lebih bermanfaat.

Mengobati lukanya anak dalam diri ini tidak melibatkan pembalasan atau pencarian pengakuan sebagai orang yang paling terkorbankan, namun lebih kepada membuat transformasi. Izinkan lingkaran kesedihan berakhir bersamamu.

Bila dilihat dari sumber utamanya, mungkin saja orangtua juga merupakan hasil dari pengasuhan mereka di masa lalu, karena menjadi orangtua merupakan suatu proses belajar sepanjang hayat.

Sebagai insan, para orangtua pun baru mengalami kehidupan serupa dengan anak-anak mereka pada masa kini, dimana tiap buah hati memiliki tantangan masing-masing.

Terkadang, orang tua mempelajari cara mengasuh anak di bawah beban finansial, tekanan sosial dari sekitar tempat tinggal, serta kurangnya dukungan yang tidak secukupnya seperti pada masa kini.

Menyalahkan pendahulu tak akan mengatasi permasalahan. Kita sebagai generasi yang dianggap lebih teredukasi tentang informasi, memiliki kewajiban untuk meningkatkan metode pengasuhan.

Seperti yang disampaikan oleh JS. di dalam karyanya berjudul Dompet Ayah, Sepatu Ibu, ada kalimat menawan:

Ibu Anda memiliki kekurangan. Ayah Anda juga memiliki kekurangan. Memaafkannya adalah obat terbaik untuk setiap masalah.

Selain itu, anak pastinya tidak pernah memohon untuk diberi kelahiran, sehingga menjadi tanggung jawab semua orangtua untuk menyediakan hal-hal terpenting serta menyiapkan diri dengan baik sebelum membawa kehidupan baru ini.

Menjadi orangtua tidak sekadar mendidik anak untuk tumbuh besar, namun juga merawat kesejahteraan mereka di kemudian hari, terutama dalam hal kejiwaan.

Jika tidak generasi sekarang yang menghentikan penerusan pola asuh beracun tersebut, maka siapakah lagi? Dan hingga kapan persoalan ini terus menjadi arena untuk bergantian mencari kesalahan pada satu sama lain?

Related posts