Setiap anak terlahir dengan potensi kecerdasan yang luar biasa. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar, menyerap informasi, dan mengembangkan berbagai keterampilan seiring bertambahnya usia.
Namun, tanpa disadari, beberapa kebiasaan yang diterapkan dalam pola asuh justru dapat menjadi penghambat perkembangan kecerdasan anak.
Sebagai orangtua, tentu kita ingin memberikan yang terbaik bagi tumbuh kembang si Kecil. Kita berusaha memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari pendidikan hingga lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Namun, ada beberapa pola perilaku yang kerap dilakukan tanpa disadari dan dapat berdampak negatif terhadap perkembangan otak anak.
Kebiasaan-kebiasaan ini mungkin terlihat sepele, tetapi dalam jangka panjang bisa memengaruhi kemampuan berpikir, kreativitas, hingga cara anak dalam memecahkan masalah.
Mama dan Papa wajib tahu!
1. Terlalu banyak melarang
Memberikan batasan kepada anak memang diperlukan, terutama untuk menjaga keselamatan mereka. Namun, jika orangtua terlalu sering melarang anak dalam berbagai hal, ini justru bisa berdampak negatif pada perkembangan mereka.
Menurut Indah Rumingsari Rahim, M.Pd., M.Psi. CHt, praktisi pendidikan, pada Instagram @bersama.tumbuh, anak yang terlalu banyak dilarang cenderung menjadi takut untuk mencoba hal-hal baru dan kehilangan rasa ingin tahu.
Misalnya, ketika anak ingin mencoba naik sepeda, tetapi orangtua melarangnya karena khawatir terjatuh, anak bisa menjadi ragu untuk mencoba hal-hal lain di kemudian hari.
Padahal, eksplorasi dan pengalaman langsung adalah bagian penting dalam proses belajar. Jika anak terus-menerus dilarang, mereka bisa kehilangan inisiatif untuk bereksperimen dan berinovasi.
Solusinya, Mama dan Papa sebaiknya memberikan kebebasan yang terarah. Alih-alih langsung melarang, cobalah memberikan bimbingan serta menjelaskan risiko yang ada.
Biarkan anak mencoba, tetapi tetap dalam pengawasan, sehingga mereka tetap merasa aman sambil belajar dari pengalaman.
2. Sering membandingkan dengan anak lain
Membandingkan anak dengan teman sebaya atau saudara kandung sering kali dilakukan dengan tujuan memotivasi.
Misalnya, orangtua mengatakan:
“Lihat kakakmu, dia sudah bisa membaca, masa kamu belum?”
“Teman kamu juara kelas, kamu kapan bisa seperti dia?”
Sayangnya, kebiasaan ini justru bisa memberikan dampak negatif bagi anak. Alih-alih merasa termotivasi, anak justru bisa kehilangan rasa percaya diri dan merasa dirinya tidak cukup baik.
Jika dilakukan terus-menerus, anak bisa mengalami tekanan mental, kecemasan, atau bahkan merasa kurang dihargai oleh orang tuanya sendiri.
Setiap anak memiliki potensi dan keunikannya masing-masing. Mereka berkembang dalam tempo yang berbeda-beda, sehingga membandingkan mereka dengan anak lain bukanlah cara yang tepat untuk memotivasi.
Sebagai gantinya, fokuslah pada perkembangan si Kecil dan apresiasi usaha yang sudah mereka lakukan, sekecil apa pun itu.
Dengan begitu, si Kecil akan lebih percaya diri dalam mengeksplorasi kemampuannya.
3. Tidak memberikan kesempatan untuk bertanya
Anak-anak adalah individu yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka sering kali mengajukan banyak pertanyaan, mulai dari hal sederhana seperti
“Kenapa langit berwarna biru?”
“Bagaimana mobil bisa berjalan?”
Namun, dalam keseharian, tidak jarang orangtua merasa lelah atau kesal dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan anak.
Terkadang, tanpa sadar, orangtua mengabaikan atau bahkan memarahi anak karena dianggap terlalu banyak bertanya.
Jika kebiasaan ini terus terjadi, anak bisa merasa bahwa bertanya adalah sesuatu yang salah, sehingga mereka menjadi pasif dan kurang eksploratif dalam belajar.
Padahal, memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya merupakan salah satu cara terbaik untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan kreativitas mereka.
Anak yang terbiasa bertanya akan tumbuh menjadi individu yang kritis, memiliki kemampuan berpikir logis, dan lebih mandiri dalam mencari solusi atas berbagai permasalahan.
Sebagai orangtua, cobalah untuk lebih sabar dalam menjawab pertanyaan anak.
Jika tidak tahu jawabannya, ajak anak untuk mencari tahu bersama melalui buku atau internet. Dengan begitu, si Kecil akan belajar bahwa proses mencari tahu adalah bagian penting dalam belajar, dan mereka tidak akan ragu untuk terus mengembangkan pengetahuannya.
4. Jarang adanya interaksi antara orangtua dan anak
Beberapa tahun pertama kehidupan seorang anak sangat penting bagi perkembangan kognitifnya. Sebuah penelitian melibatkan 672 anak dari negara bagian Rhode Island mengatakan bahwa alasan terbesar di balik penurunan skor IQ kemungkinan besar adalah kurangnya stimulasi dan interaksi di rumah.
Orangtua stres dan lelah memengaruhi interaksi yang biasanya didapat anak menurun secara signifikan
Masih belum jelas apakah skor kognitif yang lebih rendah ini akan memiliki dampak jangka panjang. Tapi yang jelas, dalam beberapa tahun pertama kehidupan, fondasi kognisi diletakkan.
5. Mengabaikan pendapat anak
Setiap anak ingin merasa dihargai, termasuk dalam pendapat dan pemikirannya. Namun, sering kali orangtua menganggap pendapat anak tidak penting, sehingga cenderung mengabaikannya atau langsung memutuskan sesuatu tanpa mempertimbangkan pendapat mereka.
Ketika anak merasa bahwa suaranya tidak dihargai, mereka bisa kehilangan kepercayaan diri dalam mengutarakan pendapatnya. Selain itu, mereka juga bisa menjadi pasif dan enggan berpikir kritis karena merasa bahwa pendapat mereka tidak berpengaruh.
Cobalah untuk mendengarkan anak dengan serius. Berikan ruang bagi si Kecil untuk menyampaikan pendapat dan ajak mereka berdiskusi.
Dengan begitu, si Kecil akan terbiasa berpikir secara mandiri dan percaya diri dalam mengutarakan ide.
6. Memberikan solusi tanpa memberi kesempatan berpikir
Ketika anak menghadapi masalah, banyak orangtua yang langsung memberikan solusi tanpa memberi kesempatan bagi anak untuk mencari jalan keluarnya sendiri.
Misalnya, saat anak mengalami kesulitan dalam menyusun puzzle, orang tua langsung membantunya menyelesaikan tanpa membiarkan anak mencoba terlebih dahulu.
Ketika anak menghadapi konflik dengan teman, Mama dan Papa langsung turun tangan tanpa mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan bijak.
Akibatnya, anak kehilangan kesempatan untuk belajar berpikir kritis dan menemukan solusi sendiri.
Padahal, kemampuan menyelesaikan masalah adalah keterampilan penting yang akan berguna sepanjang hidupnya.
Sebagai gantinya, ajak si Kecil untuk berpikir dan mencari solusi sendiri dengan memberikan pertanyaan seperti
“Menurut kamu, apa yang bisa dilakukan?”
“Bagaimana kalau kita coba cara lain?”
Dengan begitu, anak akan terbiasa berpikir mandiri dan lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan.
7. Tidak memberikan apresiasi pada usaha anak
Anak membutuhkan apresiasi atas usaha yang mereka lakukan, sekecil apa pun itu. Namun, sering kali orangtua lebih fokus pada hasil akhir dibandingkan dengan proses yang telah dijalani anak.
Misalnya, ketika anak mencoba menggambar, orang tua hanya menilai hasil akhirnya tanpa memberikan apresiasi terhadap usaha yang sudah dilakukan.
Jika anak sering mengalami hal ini, mereka bisa kehilangan motivasi untuk berusaha lebih baik karena merasa usahanya tidak dihargai.
Sebagai orangtua, cobalah untuk memberikan pujian tidak hanya pada hasil, tetapi juga pada prosesnya.
Misalnya:
“Mama senang kamu sudah berusaha menyelesaikan PR ini dengan baik!”
“Gambarmu bagus! Ibu lihat kamu sudah berusaha keras membuatnya”
Dengan begitu, si Kecil akan lebih termotivasi untuk terus berkembang.
8. Jarang berinteraksi dengan anak
Interaksi antara orangtua dan anak sangat penting dalam perkembangan kognitif mereka.
Sebuah penelitian di Rhode Island yang melibatkan 672 anak menunjukkan bahwa salah satu faktor terbesar yang berkontribusi pada penurunan skor IQ adalah kurangnya stimulasi dan interaksi di rumah.
Anak yang jarang berinteraksi dengan orangtua memiliki perkembangan bahasa dan keterampilan berpikir yang lebih lambat dibandingkan anak yang sering diajak berbicara dan bermain.
Sayangnya, banyak orangtua yang merasa terlalu lelah atau stres karena pekerjaan, sehingga interaksi dengan anak menjadi terbatas.
Padahal, komunikasi yang hangat dan aktif dapat membantu meningkatkan perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak.
Luangkan waktu untuk berbicara, bermain, dan membaca buku bersama anak. Interaksi sederhana seperti bertanya tentang aktivitasnya hari ini atau mendengarkan cerita mereka bisa memberikan dampak besar dalam perkembangan kecerdasan mereka.
Membantu si Kecil mencapai potensi terbaiknya membutuhkan kesabaran dan pola asuh yang tepat.
Beberapa kebiasaan yang sering dianggap sepele, seperti terlalu banyak melarang, sering membandingkan, atau jarang berinteraksi, ternyata bisa berdampak negatif pada perkembangan kognitif anak.
Sebagai orangtua, Mama dan Papa bisa mulai melakukan perubahan kecil, seperti memberikan kebebasan yang terarah, mendengarkan pendapat si Kecil, dan memberi apresiasi atas usaha mereka.
Dengan begitu, si Kecil akan tumbuh menjadi individu yang percaya diri, kritis, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.
Setiap anak memiliki potensi luar biasa dan tugas Mama dan Papa sebagai orangtua adalah membantu mereka berkembang secara optimal dengan dukungan dan kasih sayang yang tepat.
Semoga bermanfaat!
Baca juga:
- 16 Fakta Batuk Pilek pada Anak Menurut Dokter
- Siti Badriah Hamil Anak Kedua Perempuan Lagi, Begini Reaksi Krisjiana
- 7 Soft Skill yang Wajib Dikuasai Anak agar Sukses di Masa Depa
Tubagus Haikal adalah seorang kontributor di media IKABARI